BAB. 10 MASALAH KLAS SOSIAL DAN STATUS
Studi yang membahas hubungan antara
dominant dan sub-ordinate group dalam konteks kehidupan etnik minority
sesungguhnya bukanlah suatu studi yang baru. Kajian ini banyak menyangkut
dengan kajian yang berhubungan dengan hubungan dominasi kelas atas terhadap
kelas sub-ordinate yang ada dibawahnya. Keberadaan hubungan dominasi
tidak lepas dikaitkan dengan struktur hirarki yang ada dimasyarakat. Shubutani
dan Kwan (1970: 29) mengatakan sebagai berikut;
“ human beings are classified in
various categories which can be placed into hierarchical order, some being
superior to others. Each person can be classified in several ways, but the
most important criteria are those that determine his status in the community.
Social stratification refers to ranking categories of people. In any social
system of social stratification, the people in each stratum tend to interact
more with those identified as belonging to the same stratum, and to develop
certain characteristic of lifestyle, models of speech, knowledge, clothing and
manners which are distinctive from those in other strata.”
Berbicara tentang kelas social, maka
kita harus merujuk kepada pemahaman yang diberikan oleh Karl Marx. Marx
mendefinisikan kelas sosial sebagai sistem kelas dalam masyarakat berdasarkan
posisi ekonoominya, ” social class is a class system as a social
ranking based primarily on economic position in which achieved characteristics
can inflame mobility“. Namun karakter ekonomi bukanlah satu-satunya factor
penentu utama dalam pembentukan kelas social. Berbeda dengan Weber, social
class bagi Weber adalah ketika orang mempunyai kesamaan dalam wealth dan
income. Meskipun Weber setuju bahwa factor ekonomi adalah penentu utama dalam
factor penentu apa itu kelas social namun ia berpendapat bahwa manifestasi
kelas social tidaklah selalu berujung pada tindakan individu yang selalu dalam
konteks ekonomi. Weber lebih menekankan bahwa status seseorang tidak saja
dipengaruhi factor ekonomi, seperti yang dikemukakan oleh Marx, tetapi juga
power yang dimilikinya berdasarkan kombinasi dengan status yang dimilikinya
secara social dan dicapainya secara politik (prestige & charisma).
Ralf Dahrendorf (1959) berkaitan
dengan kehidupan masyarakat industry, mempunyai definisi kelas social yang
kemudian memadukan antara pemikiran Marx dan Weber, yaitu social class
are groups of people who share common interest resulting from authority
relationship. Dalam pemikiran Dahrendorf ini kemudian ia mendefinisikan bahwa
kelompok kelas social adalah berdasarkan authoritas yang dimilikinya,
distribution of power. Ia mengambil pemikiran Weber yang menggunakan power
sebagai dasar stratifikasi social. Untuk itu, ia tidak memasukan hanya kelas
bourgeois, tetapi juga para managers, legislator, birokrasi, atau apparatus
pemerintah sebagai bagian dari kelas dominant. Dalam hubungan sosial, hubungan
kesukuan faktanya tidaklah dapat dilepaskan secara sepihak. Marx sesungguhnya
melihat bahwa semua hubungan ya dasarnya adalah hubungan ekonomi. Tulisan ini
sesungguhnya ingin melihat hubungan kesukubangsaan dan kelas sosial itu.
Hubungan keetnikan pada dasarnya juga hubungan kelas sosial yang dasarnya
ekonomi juga.
Kapitalisme dan Keetnisan
Pengaruh kapitalisme memang
mempengaruhi system stratifikasi social masyarakat dunia dimana masyarakat
dibagi atas peran dan statusnya dalam system produksi (mode of production),
sehingga kemudian memunculkan kelas penguasa dan kelas pekerja. Kelas penguasa
atau pemilik modal akan selalu melakukan kapitalisasi modal untuk menambah keuntungannya
dengan cara menekan kelas pekerja. Kapitalisme kemudian melahirkan system
colonial yang mengharuskan negara-negara barat untuk melakukan penjajahan ke
negara-negara lain didunia. Dengan model system kolonial seperti ini maka
kemudian membawa konsekuensi terhadap hubungan etnik yang sudah terjalin
didunia menjadi hubungan yang sifatnya hubungan sosio-ekonomi. Dengan model
seperti ini maka dipercaya bahwa hubungan etnik bukanlah semata hubungan etnik
semata tetapi lebih kepada hubungan social ekonomi dan politik yang
termanifestasikan dalam instirusi politik informal (Cohen, 1983).
Hubungan yang tidak seimbang antar etnik ini juga mendapatkan sorotan Horowitz
(1985). Horowitz menjelaskan bentuk interaksi sosial antar etnik dalam dua
bentuk, yaitu sistem interaksi kelompok suku bangsa yang bersistem bertingkat (ranked
groups) dan yang tidak bersistem bertingkat (unranked groups)
(Horowitz,1985). Didalam struktur interaksi yang mapan dan stabil seperti
diungkapkan diatas maka yang terjadi adalah pembentukan struktur interaksi yang
bersifat hirarkis, atau antara superordinat dan subordinat.
Superordinat menguasai subordinat, sistem ini diperlakukan secara askriptif dan
didefinisikan sebagai suatu masyarakat yang tunggal oleh superordinat. Dalam
konteks colonial, kelompok etnik akan menggambarkan kelas social tertentu. Hal
ini berdasarkan peran dan statusnya dalam mode of production. Stratifikasi
social kemudian juga mencerminkan stratifikasi racial atau etnik karena
berkaitan dengan distribusi kekuasaan. Rodolfo Stavenhagen (1975) menunjukan
beberapa kasus etnik stratifikasi yang terjadi dimasyarakat Amerika Latin,
terutama di Chiapas, Mexico dan Guetemala. Ia menunjukan bahwa stratifikasi
socio-economic berkoneksi dengan stratifikasi etnik yang ada didaerah itu,
yaitu ladino sebagai kelas pemilik tanah dan indiano sebagai kelas pekerja.
Background colonial ini tidak serta merta hilang ketika masa colonial berakhir.
Ethnic stratifikasi tetap terjadi berdasarkan status sosio-economic yang
dimilikinya karena telah melekat dalam hubungan social etnik yang ada
dimasyarakat itu. Berkembang kemudian stereotype atau stigma yang tetap
mengatakan bahwa orang Indiano tetap sebagai kelas pekerja kelas bawah. Hal
yang sama juga disampaikan oleh Wolf (1982) dalam konteks masyarakat industry.
Stigmatisasi terhadap etnik dalam masyarakat industry menurut Wolf juga terjadi
dalam amsyarakat industry sebagai salah satu cara bagi kelas atas atau dominant
group untuk melakukan pelemahan secara politik dan budaya terhadap kelas
pekerja yang notabene adalah berbeda etnik. Dengan melakukan stigmatisasi, maka
kelas atas dapat melakukan pembayaran upah secara murah dan memperlakukan kelas
pekerja dengan seenaknya sehingga mereka mendapatkan keuntungan dari situasi
ini. Sehingga tidak mengherankan jika kemudian identitas etnik sangat melekat
dengan kelas social berdasarkan status dan perannya yang ada yang ada
dimasyarakat. Proses sejarah pembentukan hubungan antar identitas etnik
tersebut sangat mempengaruhi hubungan etnik yang terjadi pada saat ini. So
It can be said that ethnic relation in this term according Wolf is structural
and class relation.
Hubungan Etnik = Hubungan Saling
Menguasai ?
Dalam konteks masyarakat plural,
seperti Indonesia, hubungan etnik selalu berkoneksi dengan social stratifikasi.
Furnivall (1948) menjelaskan bahwa dengan model masyaralat plural (plural
society) maka pola hubungan etnik yang ada adalah hubungan etnik yang bersifat
ethnic stratification. Pola integrasi etnik yang dikembangkan yang bersifat
paksaan oleh pemerintah kolonial kemudian memunculkan stratifikasi etnik
menjadi hubungan kelompok etnik dominan dan minoritas. M.G. Smith (in Leo
Kuper,1971) juga memberikan pandangan yang sama tentang masyarakat plural. Ia
mengatakan bahwa model masyarakat plural, memberikan kesempatan praktek
dominasi oleh etnik dominan kepada etnik minoriti karena proses integrasi yang
dilakukan bukan dilakukan secara involuntary based tetapi berdasarkan paksaan. Memang
konteks masyarakat plural yang diungkapkan oleh Furnivall (1948) adalah pada
konteks masyarakat colonial namun konteks hubungan antar etnik yang tidak
seimbang karena berdasarkan perannya dalam system politik ekonomi yang
dikembangkan oleh pemerintah colonial. Kondisi colonial ini memberian warna
yang kuat terhadap pembentukan identitas etnis yang ada didunia, terutama
dinegara-negara di Asia dan Amerika Latin. Cynthia Enloe (1986) dalam beberapa
kasus di Malaysia dan Northern Ireland & Malaysia menunjukan kuat indikasi
itu. Etnik kemudian diasosiasikan dengan occupation tertentu yang ada dalam
masyarakat. Husen Ali (1984) sangat kuat menunjukan hal itu dalam konteks
masyarakat Malaysia dimana ia menunjukkan identitas etnik dimalaysia identik
dengan kelas social berdasarkan occupationnya yang ada dimasyarakat. Jika
dahulu pemerintah colonial yang memberikan mengikat kebijakan etniknya maka
sekarang peran negaralah yang menjadi sentral. Situasi ini kemudian menjadi
jurang perpecahan atau potensi etnik konflik semakin tinggi karena ethnic
relations akan berdasarkan ethnic stratification yang berbasis kepada
occupation. Dan ini kemudian menyebabkan stereotype and prejudice antar
etnik (Tan Chee-Beng,1982).
Erikson (1983), berkaitan antara
etnisitas dan nationalism menunjukan bahwa pengaruh kolonialisme ini sangat
mempengaruhi pembentukan identitas etnik pada masa post-kolonialisme. Ia
menunjukkan korelasi yang kuat system politik dan kelas social mempunyai
kontribusi dalam pembentukan etnik. Meskipun system hubungan antar etnik
sesungguhnya tidak ada hubungannya kelas social namun kemudian yang terjadi
identitas etnik diasosiasikan dengan kelas social tertentu karena peran dan
statusnya dalam system social dalam masyarakat. Erikson (1993) mengatakan
kemudian, “Theories of social class always refer to systems of social
ranking and distribution of power. Ethnicity, on the contrary, does not
necessarily refer to rank; ethnic relations may well be egalitarian in this
regard. Still, many poly-ethnic societies are ranked according to ethnic
membership. The criteria for such ranking are nevertheless different from class
ranking: they refer to imputed cultural differences or races, not to property
or achieved statuses “.
Salah satu dampak yang ditimbulkan
adalah pola hubungan dominan – minoritas yang tidak seimbang adalah hubungan
antara etnik dominan dan etnik minoritas. Keberadaan kelompok etnik tersebut
kemudian dilihat apa kontribusi yang diberikannya dalam konteks ekonomi,
sehingga yang terjadi adalah system exploitasi terhadap kelompok etnik yang
tidak punya kekuasaan terhadap system ekonomi (Wolf,1982). Kelompok etnik yang
paling dirugikan dalam konteks hubungan seperti ini adalah kelompok yang
dianggap paling kelas bawah, yaitu kelompok hunther-gatherer. Keberadaan
kelompok ini sejak lama dianggap sebagai ujung tombak mata rantai ekonomi
kapitalisme dunia sejak sebelum masa colonial (Bird-David,1995).
Kelompok hunther-gatherer ini kemudian diexploitasi
oleh kelas atas yang notabene adalah etnik dominan. Lambat-laun identitas etnik
menjadi identitas kelas social diantara kedua etnik tersebut yang mengacu
kepada hubungan ekonomi. Status identitas etnik menjadi status ekonomi, antara
kelompok dominan yang menguasai modal dan kelompok etnik minoritas yang
dikuasai. Dan peran ini lambat-laun menjadi status yang sifatnya ascriptive dan
menciptakan hubungan yang saling bergantung antara satu dengan yang lain. Nurit
H. Bird-David (1995), menunjukan kasusnya pada masyarakat di India tentang
Naikens dan non- Naikens. Etnik Naiken mempunyai status social pengumpul
natural resource untuk kemudian dijual kepada masyarakat Non-Naikens (etnik
Tamil Nadu). Hubungan ekonomi yang diciptakan kemudian memunculkan
hubungan yang saling mengikat antara kedua etnik meskipun sangat tidak
menguntungkan bagi etnik Naiken.
Harald Eidheim (1969) memberikan
contoh hubungan terikat kedua etnik kemudian menjadi hubungan ekonomi, yaitu
bagaimana hubungan antara etnik Lapp dan orang Norwegia tersebut diatur oleh
suatu tatanan struktur, dimana belum tentu menjadi kesepakatan yang saling
menguntungkan bagi kedua belah pihak. Yang terjadi kemudian menurut Eidheim
adalah secara lambat-laun status etnik pada kelas dibawahnya menjadi
cacat etnik yang permanen (social stigma). Dalam kaitan ini maka bisa dibilang
bahwa identitas etnik telah menjadi stigma social. Dalam kasus tertentu bahkan
stigma social yang dilekatkan oleh kelompok dominan ini kemudian berkembang
menjadi konstruksi identitas etnik yang melekat kepada etnik tersebut. Seperti
yang terjadi pada kasus konstruksi identitas Orang Asli oleh Orang Melayu,
(Robert K. Dentan,1997), atau di Philipine, etnik Batek (James Spader, 1993). Kirk
Endicott (1997) dalam konteks masyarakat Malaysia, antara etnik Melayu dan
etnik Batek, juga menunjukkan kasus yang sama. Etnik Batek dipandang sebagai
bagian dari tata stuktur ekonomi dari masyarakat Melayu yang paling bawah.
Beberapa tulisan etnografi tentang kelompok suku yang bertype hunther-gatherer
di Southeast Asia juga menunjukkan gejala yang sama, seperti masyarakat Dayak
Punan yang ada diKalimantan (Carl Hoffman, 1983). Namun prosesnya,
dominasi tidak hanya dilakukan hanya pada konteks social, politik dan ekonomi
saja, tetapi juga selalu bersifat budaya. Proses ini yang disebut oleh Gramsci
sebagai hegemony, yaitu penanaman ideology semu kepada kelas bawah oleh kelas
atas (ruiling class) dengan tujuan melanggengkan kekuasaan sebagai sesuatu yang
normal dan berjalan apa adanya (Gramsci,1971). Dalam konteks hubungan etnik,
kelompok etnik dominan akan melakukan proses akulturasi atau assimilation
terhadap kelompok etnik minority. Rodalfo Stavenhagen (1975) memberikan contoh
apa yang terjadi kepada masyarakat Indiano di Chiapas, Mexico dan Guatemala.
Ada proses yang disebutnya sebagai “ladinonized” atau menjadi
ladino. Proses hegemony atau pemaksaan ideology terhadap orang-orang Indiano
agar mereka menjadi ladino melalui penanaman social institution, political
power, structure social, dan value system.
Alienasi & Menjadi Identitas
Bersama
Posisi sub-ordinat ini membawa
dampak kepada proses alienasi yang mereka alami. Sebagai kelompok minoritas
mereka mengalami proses yang disebut alienation. Alienation adalah suatu proses
pengasingan diri atau pengucilan yang dilakukan oleh kelompok dominan kepada
kelas sub-ordinate, dengan tujuan untuk melemahkan kekuatan sehingga mudah
untuk dikuasai. Mulai dari proses powerlessness, meaninglessness, normlessness,
isolation, dan self-estrangement (Joachim Israel,1979). Dampak ini juga terjadi
kelompok etnik minoritas yang ada di Southeast Asia. Dampak alienation tidak
saja dalam phase social dan politik, tetapi juga budaya atau agama. Michael
Dove (1985) memberikan proses tersebut pada masyarakat etnik minority yang ada
di Indonesia melalui penghilangan status agama tradisional atas nama
pembangunan (read the same case in Thailand at Annette Hamilton, 2003).
Berkaitan dengan respon kelompok
minority, permasalahan utama yang sering dihadapi oleh kelompok etnik minoritas
adalah perasaan bahwa mereka adalah orang minoritas (being minority). Salah
satu fenomena yang menonjol dari being alienated adalah munculnya perasaan
kebencian diri (self-hatred) because being minority group. Fenomena ini
kemudian mendorong seseorang anggota kelompok etnik minoritas melakukan
assimilasi kepada etnik dominan. Arnold & Caroline B. Rose, dalam konteks
masyarakat Amerika, mengatakan bahwa salah satu sumber paling penting dari
perpecahan kelompok minoritas dan identifikasi kelompok rendah di Amerika
adalah fenomena rasa membenci diri sendiri (self-hatred) sebagai suatu kelompok
etnik/ras, yang mempengaruhi perasaan anggota kelompok minoritas yang berbeda.
Perasaan menjadi minoritas melibatkan satu atau kedua sikap berikut: (1)
merasa bahwa mereka adalah objek dari prasangka dan diskriminasi dan mereka
perlu menggabungkan untuk memprotes dan untuk merasa aman dan nyaman, dan (2)
merasa bahwa mereka telah mewarisi nilai-nilai budaya ekspresi yang
mengharuskan mereka terus bergaul dan menggabung kepada kelompok dominan yang
lain(Arnold and Caroline B. Rose, 1965, 266-270). Namun disaat yang sama,
perasaan yang mereka rasakan sebagai object dari prasangka dan diskriminasi
menyebabkan mereka merasakan ada kesamaan sehingga membentuk group
identification. Disinilah kemudian identitas etnik memberikan perannya sebagai
sumber identifikasi kelompok dimana bentuk group identification bermacam-macam,
dari suatu yang sifatnya fisik hingga sesuatu yang sifatnya cultural simbolik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar